thumbnail

Banten Ajuman


Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya dialasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
Yang menjadi unsur-unsur banten Ajuman/Soda:
  1. Alasnya tamas/taledan/cepe, berisi buah, pisang dan kue secukupnya, nasi penek dua buah, rerasmen/lauk-pauk yang dialasi tri kona/ tangkih/celemik, sampyan plaus/petangas, canang sari. Sarana yang dipakai untuk memuliakan Hyang Widhi (ngajum, menghormat, sujud kepada Hyang Widhi)
  2. Nasi penek atau “telompokan” adalah nasi yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk bundar dan sedikit pipih, adalah lambang dari keteguhan atau kekokohan bhatin dalam mengagungkan Tuhan, dalam diri manusia adalah simbol Sumsuma dan Pinggala yang menyangga agar manusia tetap eksis. 
  3. Sampyan Plaus/Petangas, dibuat dari janur kemudian dirangkai dengan melipatnya sehingga berbentuk seperti kipas, memiliki makna simbol bahwa dalam memuja Hyang Widhi manusia harus menyerahkan diri secara totalitas di pangkuan Hyang Widhi, dan jangan banyak mengeluh, karunia Hyang Widhi akan turun ketika BhaktaNya telah siap. Kadang sampyan plaus/petengas bisa disebut “sampyan kepet-kepetan”. dan dapat pula dilengkapi dengan canang genten/ canang sari/ canang burat wangi. 
  4. Beberapa jenis jajan, buah-buahan, lauk pauk berupa serondeng atau sesaur, kacang-kacangan, ikan teri, telor, terung, timun, taoge (kedelai), daun kemangi (kecarum), garam, dan sambal.
thumbnail

Banten Pejati

 
Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Pañca Yajña
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Ketika pertama kali masuk dan sembahyang di sebuah tempat suci, begitu pula jika seseorang memohon jasa Pemangku atau Pedanda, “meluasang” kepada seorang balian/seliran, atau untuk melengkapi upakara, banten pejati sering dibuat. Oleh karena itu, pejati dipandang sebagai banten yang utama, maka di setiap set banten apa saja, selalu ada pejati dan pejati dapat dihaturkan di mana saja, dan untuk keperluan apa saja.
Banten Pejati ini terdiri dari 4 macam tetandingan yaitu : 
  1. DAKSINA, terdiri dari wakul daksina yang dibuat memakai janur/slepan yang di dalamnya dimasukkan tapak dara beras, dan kelapa yg sudah dihilangkan sabutnya, lalu diatas kelapa diisi 7 kojong yg terbuat dari janur/slepan, yang masing-masing kojong diisi telor itik, base tampelan, irisan pisang tebu, tingkih, pangi, gegantusan, pesel-peselan lalu di atasnya diisi benang putih dan terakhir letakkan canang burat wangi di atasnya.
  2. PERAS, memakai alas taledan lalu di atasnya diisi kulit peras yg diisi beras+ benang+base tampelan, lalu di atas kulit peras diletakkan 2 buah tumpeng nasi putih, raka-raka (jaja dan buah-buahan) selengkapnya, ditambah kojong rangkadan yang terbuat dari janur/slepan yang berisi kacang saur, gerang/terong goreng, garam, bawang goreng, timun, lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan peras.
  3. SODAAN/AJUMAN RAYUNAN, memakai tamas dari janur/slepan yang di dalamnya diisi 2 buah nasi penek, raka-raka secukupnya, ditambah dengan dua buah clemik berisi rerasmen seperti kacang saur, teri, gerang dan lain-lain. Lalu di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/sampiyan Soda. 
  4. TIPAT KELAN, memakai tamas sama seperti Sodaan, cuma di dalamnya diisi ketupat nasi sebanyak 6 biji, lalu dilengkapi dengan 2 buah clemik yang berisi rerasmen. Di atasnya diisi canang dan sampiyan Plaus/Soda. Utk melengkapi Pejati perlu juga dibuatkan Pesucian yang terbuat dari ceper bungkulan yang di dalamnya dijahitkan 5 buah clemik, yang masing-masing berisi boreh miik, irisan pandan wangi yang dicampur minyak rambut, irisan daun bunga sepatu, sekeping begina metunu, seiris buah jeruk nipis dan 1 buah takir untuk tirta, reringgitan suwah serit dan base tampel. Untuk pelengkapnya juga perlu dibuatkan segehan putih kuning dua tanding bila pejati untuk dibawa ke Pura/Tempat suci. 
Untuk melengkapi banten Pejati juga perlu dibuatkan Penyeneng yang dibuat dari 3 potong janur lalu kita bentuk sedemikian rupa sehingga menyerupai tiga bentuk kojong yang disatukan dan berdiri tegak, di mana masing-masing kojong diisi dengan beras, tepung tawar (beras+daun dapdap+kunir ditumbuk) dan irisan bunga cepaka dan jepun dicampur boreh miik, jangan lupa diisi benang putih.
thumbnail

Banten Daksina

 

Daksina adalah tapakan dari Hyang Widhi, dalam berbagai manifestasi-Nya dan juga merupakan perwujudan-Nya. Daksina juga merupakan buah daripada yadnya. Hal ini dapat kita lihat pada berbagai upacara yang besar, di mana kita lihat banyak sekali ada daksina. Kalau kita lihat fungsi daksina yang diberikan kepada yang muput karya (Pedanda atau Pemangku), sepertinya daksina tersebut sebagai ucapan tanda “terima kasih” kepada sekala-niskala. Begitu pula kalau daksina itu kita haturkan kehadapan Hyang Widhi sebagai pelengkap aturan kita dan sembah sujud kita atas semua karunia-Nya. 
Daksina sebagai lambang Bhuana Sthana Hyang Widhi Wasa nampak dalam bahan-bahan yang membentuk daksina tersebut. Beberapa unsur penting yang membentuk Daksina, yaitu : 
  1. Bebedogan, dibuat dari daun janur yang sudah hijau yang bentuknya bulat panjang serta ada batas pinggirnya pada bagian atasnya. Bebedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas. 
  2. Serobong Daksina, disebut juga sebagai Serobong Bebedogan dibuat juga dari daun janur yang sudah hijau tanpa tepi maupun dibawahnya. Serobog Daksina ini menjadi lapisan pada bagian tengah dari bebedogan, segala bahan daksina ini masuk kedalam serobong daksina. Serobong daksina ini lambang Akasa yang tanpa tepi. 
  3. Tampak, dibuat dari empat potong helai janur berbentuk seperti kembang teratai bersegi delapan. Bentuk tampak ini melambangkan arah atau kiblat mata angin yang mengarah pada delapan penjuru. Pada dasar daksina diisi tetampak dari janur sebagai tanda Swastika, yang mempunyai makna semoga baik, juga sebagai dasar dari pengider. Ke atas menuju Ida Sang Hyang Widhi dan ke samping menuju arah kehidupan alam sekitar, tetampak dibubuhi beras sejumput. 
  4. Telor itik/telor bebek, dibungkus dengan Urung Ketipat Taluh. Telor itik yang dibungkus ketipat taluh ini lambang Bhuana alit yang menghuni bumi ini. Telur itik juga sebagai lambang dari sifat-sifat satwam. 
  5. Beras, beras merupakan simbolis dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan umat manusia di alam raya ini.
  6. Benang Tukelan (benang Bali) adalah sebagai simbolis dari penghubung Jiwatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya pralina. Sebelum pralina atman yang berasal dari paratman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina.
  7. Uang Kepeng, berjumlah 225 kepeng adalah simbol Bhatara Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Angka 225 itu kalau dijumlahkan menjadi angka sembilan angka suci lambang Dewata nawa sanga yang berada di sembilan penjuru alam Bhuana Agung.
  8. Pisang, Tebu dan Kekojong, adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari alam ini,. Idialnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan ajaran Tri Kaya Parisudha.
  9. Porosan dan Kembang, porosan adalah lambang pemujaan pada Hyang Tri Murti. Sedangkan kembang adalah lambang niat suci dalam beryajna pada Hyang Tri Murti. Tujuan bakti pada Hyang Tri Murti agar manusia mendapatkan tuntunan dalam menciptakan sesuatu yang patut diciptakan dari Hyang Brahma. Tuntunan dari Hyang Visnu pada saat memelihara sesuatu yang patut dan wajar untuk dipelihara. Dari Hyang Rudra untuk menuntun umat manusia saat meniadakan sesuatu yang patutdan wajar dihilangkan.
  10. Gegantusan, unsur upakara ini lambang didunia ini mahluk lahir berulang-ulang sesuai dengan tingkatan karmanya.
  11. Pesel-peselan dan Bija Ratus, unsur upakara ini merupakan lambang hidup bersama di dunia ini untuk menyatukan berbagai bibit. Bija Ratus adalah lambang suatu kerjasama dalam menelorkan suatu ide bersama. Sebelum ide bersama itu muncul sebagai suatu kesepakatan. Setiap pihak wajib mengeluarkan ide-idenya. Ide-ide inilah yang di sebut bija yang harus diratus menjadi satu ide bersama.
  12. Kelapa, sebagai unsur yang paling utama dalam Banten Daksina. Buah kelapa dari kulit dengan seluruh isinya adalah lambang Bhuana Agung. Unsur-unsur buah kelapa itu semuanya melambangkan sapta patala dan sapta loka. Mengapa buah kelapa yang dipakai daksina harus dikupas dan dibersihkan kulitnya hingga kelihatan batoknya. Serabut kelapa itu adalah lambang pengikat indria. Karena Daksina itu lambang Bhuana Agung Sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat. Karunia Hyang widhi akan dapat kita capai apabila kita mampu melepaskan diri dari ikatan indria. Kitalah yang harus mengikat indria sebagai alat untuk melakukan perbuatan yang bijaksana.
thumbnail

Canang Sari

 

Canang Sari merupakan ciptaan dari Mpu Sangkulputih yang menjadi sulinggih menggantikan Danghyang Rsi Markandeya di Pura Besakih. Canang sari ini dalam persembahyangan penganut Hindu Bali adalah kuantitas terkecil namun inti (kanista=inti). Kenapa disebut terkecil namun inti, karena dalam setiap banten atau yadnya apa pun selalu berisi Canang Sari. Canang sari sering dipakai untuk persembahyangan sehari-hari di Bali.

Canang sari juga mengandung salah satu makna sebagai simbol bahasa Weda untuk memohon kehadapan Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa yaitu memohon kekuatan Widya (Pengetahuan) untuk Bhuwana Alit maupun Bhuwana Agung.

  1. Canang memakai alas berupa “ceper” (berbentuk segi empat) adalah simbol kekuatan “Ardha Candra” (bulan).
  2. Di atas ceper ini diisikan sebuah “Porosan” yang bermakna persembahan tersebut harus dilandasi oleh hati yang welas asih serta tulus kehadapan Sang Hyang Widhi beserta Prabhawa Nya, demikian pula dalam hal kita menerima anugerah dan karunia Nya.  
  3. Di atas ceper ini juga berisikan seiris tebu, pisang dan sepotong jaja (kue) adalah sebagai simbol kekuatan “Wiswa Ongkara” (Angka 3 aksara Bali). 
  4. Kemudian di atas point 2 dan 3 di atas, disusunlah sebuah “Sampian Urasari” yang berbentuk bundar sebagai dasar untuk menempatkan bunga. Hal ini adalah simbol dari kekuatan “Windhu” (Matahari). Lalu pada ujung-ujung Urasari ini memakai hiasan panah sebagai simbol kekuatan “Nadha” (Bintang). 
  5. Penataan bunga berdasarkan warnanya di atas Sampian Urasari diatur dengan etika dan tattwa, harus sesuai dengan pengider-ideran (tempat) Panca Dewata. Untuk urutannya saya menggunakan urutan Purwa/Murwa Daksina yaitu diawali dari arah Timur ke Selatan.
  • Bunga berwarna Putih (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna merah muda) disusun untuk menghadap arah Timur, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari (Bidadari) Gagar Mayang oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Iswara agar memercikkan Tirtha Sanjiwani untuk menganugerahi kekuatan kesucian skala niskala. 
  • Bunga berwarna Merah disusun untuk menghadap arah Selatan, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Saraswati oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Brahma agar memercikkan Tirtha Kamandalu untuk menganugerahi kekuatan Kepradnyanan dan Kewibawaan.
  • Bunga berwarna Kuning disusun untuk menghadap arah Barat, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Ken Sulasih oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Mahadewa agar memercikkan Tirtha Kundalini untuk menganugerahi kekuatan intuisi.
  • Bunga berwarna Hitam (jika sulit dicari, dapat diganti dengan warna biru, hijau atau ungu) disusun untuk menghadap arah Utara, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Nilotama oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Wisnu agar memercikkan Tirtha Pawitra untuk menganugerahi kekuatan peleburan segala bentuk kekotoran jiwa dan raga.
  • Bunga Rampe (irisan pandan arum) disusun di tengah-tengah, adalah sebagai simbol memohon diutusnya Widyadari Supraba oleh Prabhawa Nya dalam kekuatan Sang Hyang Siwa agar memercikkan Tirtha Maha mertha untuk menganugerahi kekuatan pembebasan (Moksa). 
Bunga canang, kembang rampe, porosan adalah simbol dari Tarung / Tedung dari Ong Kara (isi dari Tri Bhuwana (Tri Loka) = Bhur-Bwah-Swah). 

Mantra Canang Sari.
Oṁ Puspa Danta ya namah svaha (dalam hati)
Oṁ tamolah panca pacara guru paduka bhyo namah swaha
Oṁ shri Deva Devi Sukla ya namah svaha